WAJAH PERS DI NEGERI INI


Opini : Joko Sadewo, S.H., M.H(c)  
Pegiat Pers

DUNIA DO.co.id jurnalistik atau populer juga disebut pers di Indonesia terus mengalami perubahan signifikan. Pergeseran peradaban disertai kemajuan tehnologi, telah memberikan dampak paling besar pada aktivitas tulis menulis atau jurnal di media massa.

Dulu, ketika rezim orde baru masih berkuasa. Geliat pers tak semeriah sekarang. Mendirikan perusahaan pers yang menerbitkan koran, tabloid atau majalah bukanlah perkara mudah. Selain persyaratan yang sulit, pemerintah juga harus yakin bahwa produk jurnalistik yang diterbitkan, tidaklah membahayakan penguasa.

Frase membahayakan tersebut, bermakna sangat luas. Tak boleh menyerang pemerintah, tak boleh mengkritisi kebijakan penguasa, dan sejenisnya. Larangan itu haram untuk disajikan kepada publik melalui media massa.

Pelanggaran hal itu berarti pencabutan izin terbit atau pembredelan. Lebih mengerikan, bahkan bisa mengantar penanggung jawab atau pemimpin redaksi ke penjara.

Pasca meletupnya reformasi, medio 1998, rakyat pers bersukacita. Ber-euforia dengan slogan kemerdekaan pers secara gegap gempita. Lalu, ribuan perusahaan pers berdiri, seiring dicabutnya persyaratan, berupa Surat Izin Penerbitan Pers (SIUPP), yang harus dikeluarkan oleh Menteri Penerangan RI, kala itu.

Payung hukum berupa Undang-undang nomor 40 Tahun 1999 yang mengatur tentang pers, lahir. Untuk mendirikan perusahaan pers, cukup dengan mengurus perizinan, sebagaimana badan hukum perusahaan dagang atau jasa lainnya (vide Pasal 9 UU 40/1999).

Dengan demikian, pemerintah telah memberikan kemudahan dan kesempatan seluas-luasnya kepada insan pers untuk berkarya, serta menjadi corong masyarakat dalam mengemukakan pendapat.

Ketika dunia menyambut era revolusi industri 4.0, media pun bermetamorfosa. Perubahan itu kerap disebut dengan konvergensi media. Jika dulu format media hanya berbentuk cetak (koran, tabloid, majalah), radio dan televisi. Kini publik bisa menikmati sajian reportase jurnalis berupa media online, baik tulisan maupun liputan audio visual melalui gadget.

Bermunculannya penerbitan media massa. Terutama media online yang bermodal ringan. Berpengaruh buruk kepada Sumber Daya Manusia (SDM) yang dipekerjakan. Guna mengejar profit, pemilik media kadangkala tak lagi mempertimbangkan kualitas pekerjanya. Asal bisa mendapatkan iklan (keuntungan), wartawan yang dipekerjakan pun tak harus pandai menulis atau berlatar belakang pendidikan tertentu.

Akibatnya, SDM yang tidak mempunyai kompetensi, serta slogan kemerdekaan pers yang terlalu didengung-dengungkan pegiat jurnalistik, acapkali kebablasan dan menimbulkan persoalan.

Tulisan yang tak sesuai kaidah, mengabaikan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) ; tendesius, sarat kepentingan, memvonis, maupun arogansi jurnalis di lapangan, semakin kerap terjadi.

Hal ini lalu rentan menyebabkan konflik antara awak media dengan narasumber, baik pemerintah maupun stake holders lainnya. Definisi pers menjadi semakin buram, tak jelas dan multitafsir. Padahal sudah ada UU 40/1999 tentang pers, sebagai acuan spesifik dalam hirarki konstitusional di negara ini.

Sebanding dengan fenomena tersebut, kegelisahan dan kekhawatiran penguasa (pemerintah) -bisa jadi-mulai tercermin dengan aneka aturan yang dikeluarkan oleh Dewan Pers, lembaga independen bentukan pemerintah, yang sedianya ditugaskan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional (vide Pasal 15 UU 40/1999).

Antara lain, verifikasi perusahaan pers (media), Uji Kompetensi Wartawan (UKW), keharusan badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Yayasan atau Koperasi. Kebijakan ini pun menuai beragam kontroversi. Ada yang sepakat, ada pula yang menentang, dengan beralasan tak sesuai dengan amanat konstitusi, maupun upaya pengekangan kebebasan pers.

Kasus-kasus sengketa pers yang bergulir pun hingga kini masih kerap diselesaikan melalui peradilan umum. Berdalih bukan produk jurnalistik, karya sebuah media bisa jadi akan dilaporkan pihak-pihak yang merasa dirugikan kepada kepolisian, dengan berlandaskan pidana umum.

Padahal, Dewan Pers juga telah melakukan kesepakatan bersama dengan Polri maupun dengan Kejaksaan Agung (Kejagung), terkait penyelesaian sengketa pers agar melalui Dewan Pers, dengan mengacu UU Pers yang menganut asas hukum lex specialist derogat legi generalis.

Terbaru, kasus jurnalis Diananta Putra Sumedi di Kalimantan Selatan. Tulisan karya wartawan Banjarhits.id itu dilaporkan PT Jhonlin Agro Raya (JAR),  yang merasa dirugikan atas pemberitaan yang berjudul "Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel" pada 8 November 2019 pukul 19.00 WITA, yang ditayangkan Banjarhits.id/Kumparan.com.

Diananta pun dikriminalisasi atas tuduhan dugaan tindak pidana sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan SARA (Pasal 45A ayat 2 UU ITE). Saat ini ia ditahan di Polres Kotabaru, Kalimantan Selatan.

Terhadap kasus ini, sebenarnya Dewan Pers sudah mengeluarkan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers Nomor: 4/PPR-DP/11/2020 tentang Pengaduan PT Jhonlin Agro Raya Terhadap Media Siber kumparan.com, artinya kasusnya seharusnya sudah selesai dengan adanya penyelesaian di Dewan Pers.

Hukum sebenarnya tidak pernah salah. Yang kerap keliru adalah penegakannya (law enforcement). Aparat Penegak Hukum (APH) memang bukanlah malaikat. Mereka ada yang baik, tapi ada juga oknum yang kurang tepat dalam menafsirkan hukum. Bisa jadi ada saja yang bersembunyi di balik konspirasi dan transaksional yang membuat hukum terkesan kejam. Tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

Meski begitu, memang patutlah para insan pers mengambil hikmah dari carut marutnya persoalan yang terjadi terhadap dunia jurnalistik sekarang ini. Terus mengasah kemampuan dan memahami semua regulasi terkait profesi ini juga adalah suatu keniscayaan, agar tak tersandung masalah.

Idealnya pers adalah salah satu pemecah masalah, pencari solusi (problem solving). Setidaknya membuat terang benderang suatu persoalan. Namun, bagaimana mungkin itu bisa dilakukan. Jika persnya saja bermasalah.

Penulis J Sadewo(*)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama